Sepasang Bintang di Cibeo
Oleh: Eni
Martini
Hujan
mencurah dari langit begitu kakiku menjejak pelataran Ciboleger. Bunga air itu
tumpah, membuat sekitar berkilau karena cahaya pantulan airnya, yang menggenang
di tanah, bebatuan, juga badan daun. Suasana sepi karena hujan, juga karena
menjelang sore. Sejenak aku celingukkan,
mencari sosok yang sudah kuhapal. Lelaki muda berusia sekitar dua puluh
tahun, berperawakan langsing namun memiliki otot-otot yang terbiasa bekerja
keras. Rambutnya lurus, pendek dengan senyum polos yang selalu menampakkan
lesung pipi. Dimana dia?
Sebuah
papan informasi kusam tetap berdiri tegak dengan barisan tulisan yang mulai
dimakan waktu: ANDA MEMASUKI KAWASAN HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY.
Dan sederet tulisan lainnya tentang tata krama
di sini, seakan menjadi saksi setiap tamu yang berkunjung, salah satunya tentu
diriku. Entahlah, ke sini seperti sebuah tumpahan kerinduan, seperti menuju
orang terdekat kita, bukan sekedar mencari udara segar, hijau daun, beningnya
sungai atau senyum yang murni. Kerinduan yang membuat lebih dari sekedar sebuah
perjalanan. Aku sendiri tidak dapat menjabarkan dengan jelas.
Apalagi
setelah lima tahun berlalu, kerinduan itu mungkin sudah membatu, tapi aku menyimpannya rapi. Dalam
pengembaraan mencari hidup, mencoba bertahan di negeri orang, berkutat dengan
modernisasi hidup, didekap putihnya salju, dan dia. Aku masih menyisihkan ruang
hati yang tak terjamah dan sekarang..aku datang untuknya.
“Mba Angi, Puun sudah memberi tahu hari
pernikahan saya...”
“Oya,
Alhamdulillah...Mi!” aku menggenggam tangan Mimi. Seperti biasa tangannya
begitu kaku, senyumnya mengembang malu-malu sembari menunduk. Sia-sia jika aku
berharap gadis itu akan memelukku hangat. Sudah mau bicara, menjabat tangan
denganku, itu sudah merupakan keajaiban. Mimi, seperti gadis Baduy Dalam
kebanyakan. Tertutup, pemalu dan begitu sederhana.
Dalam
bungkusan baju putih kain blacu, rambul keriting halus yang diikat menjadi satu
membentuk konde sedang, matanya bulat tapi tidak besar. Bola mata itu
kecoklatan seperti mocca...
Ah,
aku jadi rindu segelas mocca hangat dan sepotong macarons, aku tergila-gila
dengan isi blueberry. Disaat hujan, dingin, lalu sepi segelas mocca dan
blueberry macarons seperti sedang ditemani sahabat atau kekasih terbaik.
“Tahun kemarin Puun menunda pernikahan saya
karena sudah ada enam yang ijin nikah...” Mimi menceritakan. Aku sudah
tahu, sebab aku hampir tiga tahun mengenalnya. Dari dia seorang gadis kecil
hingga tumbuh menjadi gadis siap menikah. Gadis-gadis Baduy menikah diusia muda,
Mimi kalau tidak salah berusia sekitar delapan belas tahun. Harusnya dia
menikah saat usia tujuh belas tahun, tapi di Baduy setiap tahun seorang Puun atau kepala adat hanya bisa
menikahkan enam pasang pengantin. Jadi pengantin berikutnya akan dinikahkan
tahun berikutnya, seperti yang dialami Mimi.
“Mengapa kau menikah, Mi?” aku
melayangkan pertanyaan itu ketika untuk pertama kalinya Mimi menceritakan
padaku, dia dilamar seorang pemuda. Jujur, aku terkejut karena usianya masih
jauh di bawahku. Dia tujuh belas tahun, aku dua puluh enam tahun dan belum
berpikir soal menikah. Bukan belum berpikir sebenarnya, tapi tepatnya... masih
ragu-ragu akan pilihanku sendiri.
“Perkawinan nyaeta mangrupa hukum alam anu kedah
lumangsung sarta dipigawe ku saban manusa tanpa terkecuali1”
Aku nanar oleh jawaban seorang gadis muda dari Baduy Dalam ini, seorang
gadis yang terkungkung kehidupan jauh dari peradaban modern. Jauh dari buku,
media internet, yang diusung sebagai jendela menembus dunia. Arif nian
jawabannya atas pertanyaanku, yang bila
kutelaah pertanyaanku itu sedikit kurang ajar atau bisa jadi kurang
kerjaan. Karena aku sudah tahu gadis-gadis Baduy memang menikah muda.
Kadang, aku berpikir lebih nyaman berpikir secara sederhana seperti Mimi.
Kulihat dibola matanya yang cokelat, bening, tidak ada keraguan. Tenang, yakin,
bahkan seperti begitu gembira. Padahal seperti adat masyarakat Baduy Dalam,
mereka tidak pacaran. Bisa jadi tidak saling kenal, dijodohkan Puun, ditentukan tanggal pernikahannya.
Calon pengantin wanita seperti tidak memiliki argumen untuk ini itu di hari
specialnya, apalagi menentukan gaun di hari paling bersejarah. Sebab mereka
menikah tetap menggunakan pakaian seperti yang mereka gunakan sehari-hari, atasan
putih dengan bawahan hitam, begitu juga untuk para prianya. Hanya bedanya baru.
“Oya, kau mencintai calon suamimu, Mi?” aku kembali digoda pertanyaan
iseng.
“Ulah ngan
saukur nempo ku mata da cinta mah di jero dada2...”
Kembali aku nanar, nyaris kehilangan
kata-kata, sampai akhirnya aku hanya bisa berucap pelan, “Nanti aku belikan kain putih buat baju di hari pernikahanmu, Mi...”
Mimi mengangguk, wajahnya bersemu. Dia menceritakan calon suaminya
memberinya baju untuk hari pernikahan mereka, tapi dia tidak menolak kalau aku
membelikannya. Masyarakat Baduy Dalam begitu senang dioleh-olehi pengunjung
berupa kain putih polos untuk bahan baju dari kain blacu, selain garam, rokok,
makanan kecil, ikan asin. Hal-hal yang didapat dengan menempuh jarak jauh jika
mereka beli sendiri. Mereka memang nomor satu dalam menempuh jarak perjalanan,
bahkan tanpa alas kaki karena masyarakat Baduy Dalam terlarang memakai alas
kaki, juga naik kendaraan.
“Kapan tepatnya hari pernikahanmu?”
Mimi memberi tahu hari pernikahannya. Aku
berhitung, masih ada waktu untuk mengantarkan kain putih yang akan
dibuat menjadi baju di hari pernikahan Mimi. Ada libur kantor di hari ke jepit,
yang bisa kugunakan untuk berkunjung ke Baduy.
...
“Kau akrab betul, Ngi, sama putrinya
Mang Karta?” kata Dian, sahabatku. Kami kerap ke Baduy bersama-sama saat
liburan, karena sama-sama hobby berpetualang sejak kuliah. Pernah juga dua kali
bersama rombongan kantor, tapi hanya sampai Gazebo, Baduy Luar. Bermalam,
menikmati dunia tanpa listrik, merasakan udara alam yang mencucuk ke tulang
dalam. Paginya bermain di sungai, mandi-mandi, sarapan bareng penduduk Baduy
Luar ditemani ikan asin, pete Baduy yang terkenal legit. Bisa dibayangkan, nasi
liwet beras ladang yang bertekstur sedikit pera, dimakan bersama ikan asin, dan
pete bakar. Buah pete Baduy ini bulat, besar, legit.
Haduwww, aku jadi dilanda lapar. Dingin, tanpa manusia yang lewat, apalagi
warung makan yang buka. Tadi dalam elf menuju ciboleger, nyaris dua jam
terguncang-guncang melalui jalan yang meliuk, aku hanya sempat makan dua potong
lontong yang kubeli di Pasar Rangkas. Lontong isi oncom pedas, enak. Jadi
nyesel hanya beli dua, coba aku borong buat bekal di perjalanan. Tapi tadi
kupikir, aku akan dijemput tepat waktu lalu menikmati nasi ladang, ikan asin
dan pete bakar.
Ternyata masih saja selalu sama, manusia tidak akan mampu menentukan takdir
ke depan. Aku menghela napas panjang. Mengingat pertanyaan Dian, aku jadi ingat
tentang Mimi lagi. Awalnya aku mengenal dia saat berkunjung ke Cibeo, mendapat
tempat menginap di rumahnya. Paginya kami dalam satu perjalanan ke tempat
pemandian wanita, sungai dengan riungan dahan penuh daun. Teduh, sedikit
temaram karena matahari tak terlalu bebas memancarkan cahayanya. Di Baduy
dibedakan sungai tempat perempuan mandi dan pria mandi.
Kami terlibat obrolan karena dia memberiku sabun alami semacam daun yang
digosok-gosokan ke kulit hingga sedikit
berbuih, di Baduy Dalam dilarang keras menggunakan sabun, odol, shampo dan
sejenisnya. Sebenarnya, bukan obrolan karena hanya satu dua kata yang keluar
dari bibir Mimi. Bibir mungil kemerahan oleh sirih, masyarakat Baduy hampir
semuanya menyirih, laki-laki dan perempuan. Tua dan muda. Itu pun sembari
menunduk, jarang sekali kontak mata denganku. Sementara Dian sedikit enggan
berbasa-basi, sepertinya Dian tidak cukup sabar berbicara dengan gadis sepemalu
Mimi.
“Pusing ngajak ngomong si Mimi euy,”
keluh Dian. “Makanya heran, kau betah
banget dekat-dekat Mimi, Ngi.”
Entahlah, mungkin aku merasakan sesuatu seperti perasaan ‘klik’, yang tidak
dipahami orang lain. Aku senang mengajak Mimi bicara walau hanya keluar satu
dua kata, aku tahan mendengar Mimi bercerita meski alurnya putus-putus oleh
keterbatasan bahasa, dia hanya bisa berbahasa Indonesia sedikit sekali. Karena
wanita Baduy Dalam memang tidak pernah keluar-keluar seperti lelaki Baduy Dalam
yang suka berpergian ke kota. Jadi kadang kami menggunakan bahasa tarzan,
sampai lambat laun aku mulai memahami bahasa sunda masyarakat Baduy
sedikit-sedikit.
“Mba Angiiiiiii!”
Bagai tersengat api, teriakan memanggil namaku itu membuat aku tersentak,
sontak menoleh. Sedari tadi akhirnya aku memutuskan duduk di beranda masjid
yang tak jauh dari pelataran Ciboleger, menanti jemputan. Sesekali menghibur
diri, terlambat karena hujan. Salahku juga memaksa datang meski sore dan
terpaksa akan menginap di Gazebo dulu, padahal waktuku begitu sempit. Aku harus
kembali ke Eropa, mau tidak mau... not infrequently we
really do not have the freedom of life itself.
Dulu, aku pernah sombong kepada takdir Mimi yang ditentukan Puun, ternyata aku berada pada rotasi
yang sama saat ini. Hanya sedikit berbeda saja. Tapi sepertinya lebih beruntung Mimi, dia melaluinya dengan bahagia
bahkan mampu membuat pipinya bersemu bak pelangi. Sementara aku? Apa yang
kurasakan?
“Aduh, maaf Mba, telat. Hujan tadi deras sekali. Apa kabar lama Mba Angi
gak main ke Baduy?”
“Alhamdulillah baik. Oya, Didin, kamu bikin aku pangling!” Seruku, ternyata
sosok Didin sudah tidak langsing lagi, sedikit tegap berisi.
“Kan sudah punya istri sama anak, Mba, jadi tuaan,” canda Didin.
Aku tertawa.
“Mba Angi sudah menikah juga, kok tidak bawa suam-“
“Husss!” aku mendengus tanpa sadar.
Didin menatapku tapi aku segera mengalihkan ke hal lain. Sungguh, perutku
sangat lapar, hujan sudah reda. Kami nekat menembus sore menuju Gazebo, dua jam
perjalanan. Menuju magrib kami akan sampai rumah Didin. Jalanan yang terjal
jadi sangat licin, berapa kali aku nyaris terpeleset, untung sandal tali yang
kukenakan memang sesuai untuk medannya. Sepanjang jalan kami asyik ngobrol
melepas rindu.
Hari mulai gelap ketika melewati selasar rumah-rumah Baduy Luar yang
sederhana, cahaya kelip dari lampu minyak di dalam rumah mereka tembus melalui
celah dinding bambu. Di kegelapan cahaya itu seperti kunang-kunang yang menari,
mengikuti langkah kami yang hanya diterangi lampu senter. Jika bukan berjalan
dengan ahlinya, memasuki Baduy Luar malam-malam begini tentu berbahaya.
Suara-suara hewan malam nadanya alam sekali, suara-suara yang lama tidak aku
dengar.
Kulilitkan syal wol melingkari leher, sweater yang mendekap tubuhku masih
ditembus angin Baduy yang jauh lebih dingin dari Jakarta meski masih lebih jauh
lebih dingin salju. Tapi dingin malamnya Baduy terasa berbeda, menusuk,
menciptakan kesunyian yang indah. Membuat kita berasa terdampar ke negeri antah
berantah sebagai tempat yang cocok untuk membenamkan segala keramaian hidup di
dunia modern.
“Di sini tidak ada yang berubah, Mba, tetap seperti dulu karena kami
menjaga harmoni alam. Beda sama di kota, lama gak datang...tahu-tahu jalan
berubah total.”
“Itulah kenapa Tuhan mengutus kalian datang ke bumi, agar sebagian isi bumi
tidak tergerus manusia-manusia rakus...” kataku sembari tersenyum.
“Larangan teu meunang dirempak,buyut
teu meunang dirombak3...” ucap Mimi ketika aku menanyakan soal
segala hal hukum adat yang berlaku di Baduy. Bisa jadi sebagian orang
menganggap naif tapi inilah hakikinya manusia yang paham akan moral, dan
ajaibnya ini diterapkan dengan saklek di sebuah tempat yang memberi kesan
primitif, jauh dari kepandaian formal. Kita memang harus banyak-banyak berkaca
pada alam.
Brug!
“Aduh!” aku menjerit kecil, karena kaget bukan sakit. Sebab, kakiku sempat
menekuk saat bokongku menyentuh tanah. Didin segera membantuku berdiri.
“Licin, Mba Angi. Tapi sebentar lagi kita sampai, tuh sudah terlihat!”
Didin menunjuk rumah panggung yang depannya terdapat lampu minyak kelip-kelip,
tampak dari jauh ada bayangan beberapa orang berdiri di teras rumah Didin. Itu
pasti keluarga besar Didin.
Semangatku terpacu, bayangan nasi ladang mengepul, ikan asin bakar, pete
bakar. Aku berasa benar-benar ingin melahap semuanya sampai terasa kenyang.
...
“Wilujeng
Wengi, Neng Angi...” itu sapaan selamat malam dari Ayahnya Didin, terlihat dalam
cahaya remang-remang wajahnya yang keriput bak buah prum dikeringkan tersenyum
lebar, jikalau ada cahaya terang pasti deretan gigi itu merah oleh kebiasaan
menyirih. Ayah Didin, Mang Japra mengenakan baju atas bawah hitam-hitam dengan
ikat kepala hitam juga khas Baduy Luar. Masyakarat Baduy Luar selain mengenakan
hitam-hitam, boleh menggunakan baju biasa yang dipakai masyakarat pada umumnya,
seperti yang dikenakan Didin, celana jeans dan kaos. Masyarakat Gazebo paling
modern dibanding Baduy Luar lainnya, karena menjadi pintu masuk dan transit para
pengunjung.
Selain Mang Japra, ada Ambu4’nya
Didin, wanita setengah baya dengan rambut diikat asal keatas mengenakan kain
dililit ke tubuh. Aku suka berpikir, apa tidak kedinginan, tubuhku yang dibalut
sweater, syal dan celana cargo saja masih merasa dingin padahal 5 tahun hidup
di Eropa.
“Ini istri saya, Mba Angi...” aku sudah duduk di teras bersama Mang Karta
dan Ambu ketika Didin mengenalkan
istrinya yang juga mengenakan kain dililit, namun dibagian atasnya dilapisi
baju berkancing. Istrinya mungil, rambut tergerai melebihi bahu, menggendong
anak Didin yang masih balita. Tahu-tahu tamu berdatangan, tetangga kanan-kiri
Didin. Aku segera mengeluarkan bawaan, rendang yang sengaja kubawa 1 kilo,
balado ikan asin, sebagian tidak aku keluarkan karena aku bawakan special buat
Mimi. Yah, tujuanku ke baduy adalah mengunjungi Mimi.
Aku ingin tahu bagaimana dia sekarang sudah seperti apakah, berapa
anak-anaknya, seperti apa suaminya karena aku tidak bisa datang pada hari
perikahannya 5 tahun lalu. Saat itu aku harus pergi ke Eropa bersama Pete, aku
ikut merasakan kebahagiaan Mimi yang mekar di dadaku juga.
Huh! Aku merasakan sesak mendadak menyebut Pete, ingin aku patahkan nama
itu dan benamkan dalam arus sungai yang bergolak, tanpa tertinggal...
“Makan besar...” ucap Didin, istrinya dan Ambu sudah mengeluarkan nasi ladang yang masih mengepul dalam wadah
anyaman bambu yang membentuk mangkuk, ikan asin bakar dan pete bakar yang
dihampar diatas daun pisang...baunya, haruuum luarbiasa dibawa angin malam yang
bersih. Jikalau keluarga Didin dan para tamu lahap dengan lauk bawaanku, yang
tentu jarang mereka temui, maka aku lahap dengan ikan asin bakar dan pete bakar
yang nyaris hilang dari lidahku selama 5 tahun.
Selesai makan para tamu dan keluarga Didin terlibat obrolan yang seru, aku
hanya menyimak karena banyak tidak paham dengan bahasa mereka. Khas masyarakat
baduy, baik Dalam dan Luar setiap kedatangan tamu mereka ikut meramaikan dengan
mengunjungi rumah yang kedatangan tamu, makan bersama, menyirih sambil ngobrol.
Setelah para tamu pulang, keluarga Didin beristirahat, aku terbaring di ruang
dalam yang luas. Diterangi lampu minyak temaram, suasana yang sunyi membuat
napas pun terdengar nyaring...
“Besok pagi antarkan aku ke Cibeo, Din, aku mau ke rumah Mimi. Menginap
semalam di sana, kau boleh pulang dan jemput aku lagi besok paginya. Dari Cibeo
aku mau langsung ke Jakarta lagi,” kataku sebelum tidur.
“Baik, Mba Angi.”
Lalu malam benar-benar senyap, benar-benar gelap ketika pelupuk mataku
tertutup, berdamai dengan kantuk dan lelah. Mengenyahkan segala badai di dada.
Aku kesini ingin menentramkan hatiku, sekedar melihat kebahagiaan Mimi,
menertawakan kesombonganku akan hidupku yang penuh pilihan. Lihatlah, apa yang
aku pilih. Tak ubah seperti memilih buah dalam kegelapan, aku tidak tahu apakah
buah itu bagus atau penuh ulat di dalamnya. Dalam gelap aku hanya dapat meraba
tekstur buah yang mulus, bau yang harum.
...
Pagi di Gazebo...
Embun jatuh di badan daun, bulat, bening seperti permata. Hal yang jarang
aku temui di kota, udara mencubit hingga tulang, aku ke sungai hanya untuk cuci
muka dan mengobati kerinduan saja. Beberapa wanita Baduy Luar sudah
beraktifitas di sungai, mereka mandi, mencuci rambut dengan daun-daunan yang
menimbulkan busa, mencuci perabotan dapur. Aku menyapa mereka dengan senyum
lebar, mereka melambai dan tersenyum. Wanita Baduy Luar memang jauh lebih ramah
ketimbang Baduy Dalam yang pemalu dan tertutup.
“Jalan sekarang?” kata Didin begitu kami usai sarapan. Aku benar-benar
kalap dengan ikan asin bakar dan pete bakar, untung buang air kecilnya di
sungai jadi terhindar bau ajaib efek makan pete.
Semua sudah aku packing rapi kembali, aku pun menganggukkan kepala, pamit
kepada keluarga Didin. Dua anak Didin yang masih kecil melambaikan tangannya,
aku membalasnya dengan senang. Kalau saja aku tahu Didin sudah punya anak, aku
pasti membawakan kain buat pakaian mereka. Ini aku hanya membawakan kain buat
anak-anak Mimi, aku ingat Mimi bisa menyulam nama di baju, aku juga membawakan
jarum dan benang wol aneka warna. Meski sulaman hurup yang Mimi sulam
terbalik-balik karena masyarakat baduy mengenal hurup hanya dari pengunjung
secara ala kadarnya, termasuk dari hurup-hurup yang terdapat dikemasan makanan
yang dibawa pengunjung.
Kami melewati beberapa saung tempat beristirahat, juga deretan leuwit atau lumbung padi Baduy Luar,
langit begitu cerah, wangi tanah baduy ini murni, khas. Sesekali kami menjumpai
warga Baduy Luar dan Dalam yang lewat, menyapa mereka dengan senyum. Sebenarnya
aku ingin bertanya banyak tentang Mimi kepada Didin, tapi aku menahannya. Aku
ingin sesuatu yang suprise,
menyempurnahkan rasa rindu di hati.
Jembatan akar tanda perbatasan Baduy Luar dan Dalam sudah kami lewat,
dulunya menurut cerita jembatan akar hanya merupakan jembatan bambu, namun
seiring waktu jembatan ini dirambati akar-akar yang rimbun. Menciptakan
jembatan akar menggantung diatas sungai besar yang elok. Setelah melewati jembatan akar, berarti sebentar
lagi rumah Mimi terlihat. Sudah seperti apakah gadis itu kini? Dadaku
berdebar...
“Itu rumah Mimi, Mba Angi,” kata Didin mengagetkanku. Sebuah rumah panggung
jauh lebih sederhana dari rumah Didin, bahkan dibangun dengan asal kelihatannya
karena di Baduy Dalam segala peralatan sangat terbatas. Terdiri dari material
kayu yang dipotong kasar, dinding bambu, atas rumbai. Teras depan sempit, hanya
bisa untuk duduk satu dua orang, tidak seperti rumah Didin yang terasnya bisa
menampung banyak orang. Tidak ada perubahan dengan rumah itu.
“Kok sepi, jangan-jangan pada menginap di ladang,” gumam Didin nyaris
membuat aku patah hati, namun hatiku melonjak ketika kemudian keluar seorang
gadis mengenakan pakaian putih khas Baduy Dalam, rambutnya diikat keatas,
memegang tempat perabotan dapur dari anyaman bambu, menuruni anak tangga rumah
panggung. Walau membelakangi, aku tahu itu pasti Mimi.
“Mimi!” aku menjerit keras, lupa akan suasana sunyi di Cibeo. Cibeo siang
ini sepi.
Gadis itu menoleh dan matanya...seperti mocca, coklat bening. Dia menatapku
lama, lama sekali sampai aku menubruknya, memeluknya erat. Mimi, aku hanya
ingin tahu kau bahagia bersama keluarga kecilmu dengan pilihan Puun. Lihatlah, aku tidak mendapat
apa-apa dari pilihanku sendiri...
“Mba A-Angi...” terbata Mimi mengingatku, Didin sudah pamit pulang karena
laki-laki itu ada urusan lain, sesuai perjanjian dia akan menjemputku besok
pagi. Aku dan Mimi sudah duduk di teras rumah, siang ini warga Cibeo sedang di
ladang, maka sunyi sekali. Beruntung Mimi tidak sedang di ladang, ladang Baduy
Dalam cukup jauh, melewati bukit terjal, naik turun karena itu disana dibangun
gubuk-gubuk panggung untuk menginap.
“Iya, aku... Angi, Mi...” kataku haru biru. Mimi tidak banyak berubah,
wajahnya tidak nampak menua, hanya sinar matanya tidak secermelang dulu. Ada
redup yang membias. “Bagaimana keluarga kecilmu, kau punya anak berapa, Mi?”
Mimi menunduk, dia sibuk menuangkan air dari dalam botol beling besar ke
dalam mangkuk keramik putih, kalau di Jakarta mangkuk-mangkuk keramik kecil
putih itu biasa buat tempat soto Kudus, di Baduy Dalam digunakan buat gelas
minum. Air putih Baduy berasa bau asap yang unik karena dimasak dengan
menggunakan kayu bakar, buat yang tidak suka bau asap bisa meminumnya dengan
menggigit gula aren Baduy yang legit.
Selesai menuangkan air minum, meletakkan potongan kecil gula-gula aren di
piring plastik, Mimi terdiam. Mata menerawang menembus rimbunan daun.
“Mi..” aku tidak jadi minum, tapi menatap kejanggalan di depanku, ada apa
dengan Mimi?
Tiba-tiba Mimi masuk ke dalam lalu
keluar lagi dengan memangku seorang anak perempuan berusia 4 tahun yang
tampaknya baru bangun tidur. Matanya seperti mocca, mata Mimi. Rambutnya lurus
pasti rambut ayahnya karena rambut Mimi keriting halus. Wajahnya lonjong dengan
dagu lancip, ini juga pasti mirip ayahnya. Aku mencolek pipi gadis kecil itu,
pipinya kemerahan oleh matahari, sedikit dimakan daki yang kurang digosok saat
mandi, tapi tetap terlihat jelita. Baju putihnya kecoklatan karena sering
dipakai dan dicuci tanpa sabun, aku langsung teringat oleh-oleh yang kubawa.
Selain balado kacang, kain putih untuk baju anak Mimi.
“Ini buat baju anakmu, jangan lupa dihiasi hurup-hurup dari benang ini.
Oya, namanya siapa?” kusodorkan kain putih yang membuat Mimi tersenyum meski
sekilas.
“Angi.”
“Apa?” aku terlonjak kaget.
“Saya pakai nama Mba Angi buat kenang-kenangan,” kata Mimi tersipu, dia
menunduk begitu juga dengan putrinya yang memeluk kain putih pemberianku.
Aku tertawa senang, namaku ada di gadis kecil Cibeo.
“Mi, anakmu berapa?”
“Satu.”
“Suamimu ke ladang?’
Mimi menggeleng pelan.
“Kemana?”
“Pergi...”
Aku mengerutkn dahi, “Lagi pergi ke Jakarta?”
Mimi menggeleng, “Suami saya pergi waktu saya hamil 7 bulan, dia menikah
lagi dengan wanita Baduy Luar. Hukum adat sudah mengusirnya dari Baduy Dalam...”
Aku melongo.
Tubuhku menggigil. Tidak! Aku berusaha menghalau suara-suara Mimi yang
seperti berulang-ulang memenuhi telingaku, aku lihat Mimi masih duduk memangku
anaknya penuh kasih. Tidak ada tangis, tidak ada kegelisahan, kalau lah ada
paling hanya bias tipis di matanya.
“Kau tidak sedih, Mimi?” tanyaku hati-hati, begitu saja secara spontan.
“Hidup untuk dijalani,” kata Mimi pendek sambil membelai rambut putrinya.
Aku lihat dari helaian rambut lurus kemerahan itu, tampak kilau biji-biji telur
kutu rambut tapi gadis kecil itu tidak nampak menggaruk kepalanya. Menikmati
belaian ibunya, menjumput sepotong gula aren dan memasukkan ke dalam mulut.
Terlihat benar menikmati gurihnya gula aren yang dibuat dari air nira hasil
menyadap bunga aren, dimasak sekian lama, dicetak dalam batok kelapa. Tekstur
gula aren Baduy liat, dagingnya bersih, beda sekali dengan gula aren yang
banyak dijual di pasar-pasar di Jakarta yang kadang begitu masuk ke dalam mulut
mudah pecah.
...
Hidup untuk dijalani...
Aku memasukkan kata-kata itu ke palung hati. Lihatlah dirinya... Pete
menghianatinya. Di usia pernikahan mereka yang kelima, mereka dikaruniai
seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, Putra. Pete tahu-tahu menceritakan
perselingkuhannya dengan Anne. Mereka menjalin hubungan lagi selama setahun
tanpa sepengetahuanku. Anne kekasih Pete di masa lalu, parahnya Anne mengandung
anak Pete. Apa salahku? Mungkin banyak kasus penghianatan, penceraian di luar
sana karena seorang suami yang selingkuh tanpa alasan jelas, sesempurna apapun
si istri. Tapi ketika itu menimpaku...
Dunia serasa berhenti berputar, inikah laki-laki pilihanku? Aku seperti
memasukan paku ke dalam jantungku sambil tersenyum lebar. Aku pulang ke Jakarta
dengan belitan perasaan kacau, aku butuh seseorang untuk menyakinkan apa yang
harus aku lakukan. Seperti seorang bocah yang begitu bahagia dengan bola warna-warninya,
begitu yakin memiliki selamanya hanya karena bola itu sudah diperuntukannya,
lalu patah hati ketika bola yang diyakininya jatuh ke pekarangan lain.
“Mama serahkan semuanya pada
keputusan hatimu, Angi...”
Semua yang masuk ke dalam telinga seperti asap yang menguap begitu cepat,
dititik rasa kacau aku ingin menemui Mimi. Gadis itu melintas seperti panggilan
ghaib, aku ingin melihat kebahagiaannya yang dipilihkan Puun, mungkin akan menghiburku. Namun ternyata Mimi pun kehilangan
suaminya tapi gadis itu tanpa tangis, tanpa emosi, membelai putrinya dengan
keyakinan yang besar bahwa hidup harus dijalani. Aku pun jadi semakin tahu, takdir hidup ada pada
Yang Kuasa, pernikahan karena siapapun, baik perjodohan, pilihan sendiri, bukan
jaminan kebersamaan sepanjang masa. Hidup yang penting dijalani...
Aku menemani Mimi memandikan Angi, putri kecilnya yang melonjak-lonjak
gembira. Digosok tubuh gadis kecil kurus itu dengan daun-daun untuk mandi,
digosok pula rambutnya. Rasanya gemas aku ingin memandikannya dengan sabun dan
shampo yang wangi, tapi adat melarang semuanya untuk kemurnian alam.
“Leuweung rusak, cai beak, manusa balangsak...” Mimi selalu mengucapkan berulang-ulang padaku untuk menjaga hutan dan
sungai, agar manusia tidak sengsara. Kita benar-benar berhutang budi kepada
mereka. Lihat lah sebagai contoh,
hancurnya sungai-sungai di Jakarta sehingga banjir bisa merenggut nyawa setiap
tahunnya.
Selesai mandi, aku dan Mimi memasak nasi ladang, membakar ikan asin, pete.
Bertiga makan dengan lauk ikan bakar, pete bakar dan lauk yang kubawa. Masyarakat baduy memang tidak
memiliki beragam makanan, sehari-hari mereka hanya makan nasi ladang, ikan
asin, dan pete jika sedang musim. Daging-daging hanya ada ketika ada pesta
kelahiran, kematian dan pernikahan.
Malamnya aku tidur memeluk Angi, kerinduan akan anakku memilin. Putra masih
di Eropa, aku menemukan keyakinan akan pergi dari Pete. Tepatnya mengurus surat
cerai, mengambil hak asuh Putra karena masih di bawah umur. Aku akan membawa
Putra ke Indonesia, mengenalkan alam leluhurnya dengan indah, membesarkannya
dengan keyakinan bahwa hidup harus dijalani...
Nya didinya Taji Wira
Kuning jeung adina tetep lembur matuh dajeuh maneuh5
Sayup-sayup masih masuk dalam telingaku pantun berbahasa sunda menembus
kesunyian, aku sempat bertanya pada Mimi, suara-suara apa itu?
“Itu suara orang membacakan pantun Gajah Lumantang, yang dibacakan karena
mau ada nikahan, “ kata Mimi pelan. “Bacaan pantun bisa sampai pagi.”
“Oya?”
“Dalam pantun untuk pernikahan isinya nasehat kokolot mencontoh kehidupan para leluhur, agar suami istri menjaga
kehidupan keluarga, ladang...” hanya itu jawaban Mimi, selebihnya dia terdiam,
mungkinkah aku telah mengingatkan lukanya. Luka yang diam-diam ia endapkan
karena hidup mesti dijalani untuk Angi?
“Maafkan aku, Mimi...” reflek aku mengucapkan itu.
Mimi tampak tersenyum dalam remang, dia menggeleng lalu rebahan. Kepalanya
jatuh pada bantal kecil kekuningan. Tak ada lagi suaranya, hanya napasnya yang
turun naik.
Terima kasih, Mimi...bisikku sebelum terpejam. Sebelum masuk ke dalam tadi,
aku duduk di teras bersama Mimi dan Angi. Menatap langit dibalik rimbun daun,
betapa bintang terlihat banyak diluar sana. Namun aku jauh lebih melihat
bintang bersinar di Cibeo ini, yaitu sepasang bintang di mata Mimi dan
putrinya.
Marentah sasama raja,
reuhreuy nagara Pasir Batang Lembur Tengah6
Ngayajar pucuk kalapana,
nguyupuk pucuk kawungna, nayektek pucuk jambena7
-The End-
Keterangan bahasa:
1.
Perkawinan adalah
merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia tanpa
terkecuali
2.
Jangan hanya melihat
oleh mata sebab cinta itu di dalam dada
3.
Larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak boleh
diubah
4.
Panggilan Ibu dalam bahasa Sunda, orang-orang Baduy
biasa memanggil Ibunya dengan sebutan ‘Ambu”
5.
4-6 Cuplikan pantun dari Gajah Lumantang pantun yang
biasa dibawakan pada selamatan perkawinan masyarakat Suku Baduy (sumber:Cecep
Eka Permana’S Blog)
0 komentar:
Posting Komentar